Disinyalir ada beberapa oknum Kementerian Keuangan yang ketahuan memiliki perusahaan cangkang.
Perusahaan Cangkang merupakan sebuah perusahaan yang tidak memiliki kegiatan yang berhubungan dengan bisnis, asetnya juga sangat kecil, terkadang perusahaannya hanya di atas kertas saja.
Jadi modusnya adalah perusahaan hanya sekedar nama saja tanpa memiliki bentuk fisiknya sebagai kantor.
Sehingga perusahaan cangkang erat hubungannya dengan peluang pelanggaran hukum, contohnya adalah tindakan menyembunyikan dana hasil korupsi atau bisnis ilegal, pencucian uang, juga penghindaran pajak.
Tujuannya tentu untuk merahasiakan tindak kejahatannya.
Hal ini dibongkar oleh Kepala PPATK mengungkap modus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Keuangan yang angkanya mencapai puluhan triliun rupiah.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana bilang, ada oknum di Kemenkeu yang menggunakan perusahaan cangkang sebagai alat pencucian uang. Bahkan, satu oknum bisa memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang.
Ivan mengungkapkan dalam rapat Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3/2023).
“Ada oknum satu, tapi perusahaannya ada lima, ada tujuh, delapan, dan segala macam,” kata Ivan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Ivan mengungkapkan, oknum tersebut umumnya menggunakan nama orang-orang terdekat di akta perusahaan cangkangnya, seperti istri, anak, bahkan sopir dan tukang kebun.
“Karena modus pelaku TPPU itu adalah selalu proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, akun orang lain dan segala macam,” ujarnya.
Menurut Ivan, dugaan TPPU tersebut merupakan bagian dari dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu yang nilai totalnya sebesar Rp 349 triliun.
Khusus dugaan TPPU yang langsung melibatkan oknum Kemenkeu dengan modus perusahaan cangkang, nilainya ditaksir mencapai lebih dari Rp 35 triliun.
Diduga, tindak pidana pencucian uang ini melibatkan 461 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 non-ASN.
Ivan mengatakan, dugaan TPPU dengan modus perusahaan cangkang tersebut sudah dilaporkan PPATK ke Kemenkeu, berikut nama oknum dan daftar perusahaan cangkangnya.
“Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum“.
“Sehingga, ini enggak bisa dikeluarkan, data perusahaan tadi enggak bisa dipisahkan dari oknum tadi,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata Ivan, hitungan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan data transaksi mencurigakan antara yang disampaikan PPATK dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Jika dihitung dugaan TPPU satu oknum berikut perusahaan cangkang yang ia miliki, didapati angka transaksi mencurigakan senilai Rp 35 triliun sebagaimana yang dijelaskan PPATK.
Namun, jika penghitungan hanya dilakukan terhadap oknum tanpa menghitung dugaan TPPU di perusahaan cangkang, nominal transaksi janggal “hanya” sebesar Rp 3,3 triliun seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani.
“Kami masukkan nama-nama perusahaan, berikut nama oknum, di situlah ketemu Rp 35 triliun,” kata Ivan.
“Kalau (perusahaan cangkang) dikeluarkan memang Rp 22 triliun, kalau dikeluarkan lagi memang cuma Rp 3,3 triliun,” tuturnya.
Dalam rapat yang sama, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Mahfud MD mengungkap dugaan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan data agregat dugaan TPPU periode 2009-2023.
Data yang bersumber dari 300 laporan hasil analisis (LHA) itu terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp 35 triliun.
Dalam hal ini, data Mahfud berbeda dengan yang sebelumnya diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun,” katanya.
Kelompok kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lainnya. Menurut Mahfud, transaksi ini berkisar Rp 53 triliun.
Klaster ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik Tindak Pidana Asal dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Jumlahnya sekitar Rp 260 triliun.
“Sehingga jumlahnya Rp 349 triliun, fix,” ujar Mahfud.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu mengatakan, total ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang terlibat transaksi-transaksi janggal tersebut.
Selain itu, ada 13 ASN kementerian/lembaga lain dan 570 non-ASN yang terlibat dugaan transaksi janggal ini sehingga totalnya mencapai 1.074 orang terlibat.
