
Saya berbeda pandang terhadap aspirasi sebagian masyarakat Indonesia menolak Tim Nasional Israel ikut Piala Dunia U-20 yang akan diselenggarakan di Indonesia, 20 Mei sampai 11 Juni 2023.
Alasan penolakannya lebih cenderung didasari rasa solidaritas terhadap nasib bangsa Palestina yang ditindas bangsa Israel dan lalu kemudian memberi dukungan kemerdekaan Palestina.
Atas hal ini, saya merasa prihatin terhadap gerakan tersebut. Kenapa momentum ini tidak dipergunakan untuk memperjuangkan nasib Indonesia sendiri.
Ada pepatah tua berbunyi, “Sayang ke orang, benci ke diri”. Hal ini cocok sebagai gambaran penolakan Timnas Israel ikut Piala Dunia U-20.
Jika bangsa Indonesia sayang pada dirinya, ada negara yang mesti ditolak untuk ikut diberbagai event bergengsi yang digelar di Indonesia yaitu, Arab Saudi. Kenapa?
Alasannya, banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi mendapat perlakuan tidak manusiawi. Para PMI banyak dijadikan budak dan korban human trafficking.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), ada sebanyak 1,01 juta TKI di Arab Saudi pada tahun 2014. Faktanya, angka tersebut bisa lebih dari itu.
Meskipun dimoratorium (ditutup) penempatan PMI ke Arab Saudi, jumlah PMI sampai sekarang ini semakin banyak dan diperkirakan angkanya mencapai 1,5 juta orang.
Kebijakan moratorium malah semakin memperparah keadaan dan makin semaraknya Warga Negara Indonesia masuk ke Arab Saudi tidak terdata dan menjadi santapan sindikat human trafficking.
Hampir sebagian besar PMI yang bekerja di sektor pembantu rumah tangga bekerja 18 jam dalam sehari tanpa berhenti. Tidak ada mengenal hari libur dalam seminggu.
Mereka melakukan semua pekerjaan dari mencuci, mengosok, memasak, membersihkan rumah, sampai menjaga anak. Si majikan bak raja, PMI harus melayani dan patuh kepadanya.
Mereka dipekerjakan ada sampai 3 rumah, yaitu rumah majikannya sendiri, rumah adiknya dan rumah orangtuanya. Rumah yang besar dan 3 lantai hanya dikerjakan satu orang PMI.
Mereka bekerja terus menerus tanpa henti dan tidak ada jam istirahat dan tidak ada libur. Para PMI tak luput mengalami masalah urat saraf kejepit, depresi, kejang-kejang serta kecelakaan kerja karena kelelahan bekerja.
Selain itu, mereka mendapat penyiksaan dan kekerasan verbal. Tak hayal, PMI ini mengalami pelecehan seksual.
Jika PMI ini sakit, mereka tidak membiayainya. Biaya pengobatan ditanggung sendiri oleh PMI. Meski sakit tetap dipaksa kerja. Tidak ada waktu bagi dia rehat sejenak dan istirahat penyembuhan sakit.
Sarikah sebagai agen penyalur tidak kalah biadabnya. Mereka memperdagangkan di tempat penampungan Sarikah, para PMI diperlakukan seperti budak belian yang siap diperdagangkan.
Tak jarang perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja di Arab Saudi memajang para PRT di sebuah pameran yang berada di Mal.
Selama di mess penampungan sambil menunggu datang majikan menyewa PMI ini, mereka dikasih makan hanya kurma dan jeruk tanpa ada nasi dan lauk-pauk. Tak jarang juga mereka tidak dapat bagian makanan.
Sementara gaji yang diterima PMI dipotong sewena-wenang oleh Sarikah. PMI hanya menerima gaji 800 riyal dari 1.500 riyal ketentuan upah minimum per bulan.
Perbuatan biadab perbudakan yang sudah dilarang di konvensi internasional ini masih menjadi gambaran peradaban bangsa Arab yang mengaku sebagai negara yang memiliki peradaban maju dan pembawa nilai-nilai moralitas.
Eksploitasi tenaga kerja manusia yang terjadi saat ini mengingatkan sejarah kelam peradaban manusia di masa perbudakan Trans-Sahara dan Trans-Atlantik yang terjadi pada abad ke-7 sampai abad ke-20.
Perbudakan adalah perbuatan tidak manusiawi dan dikecam dunia. Berbagai negara melarang sistem perbudakan.
Setiap tahunnya, pada tanggal 2 Desember, orang-orang di seluruh dunia memperingati Hari Penghapusan Perbudakan Internasional atau International Day for the Abolition of Slavery.
Kerajaan Arab Saudi pun sebenarnya sudah melarang perbudakan. Perbudakan secara resmi dihapuskan di Arab Saudi pada tahun 1962.
Namun bentuk penghapusan perbudakan ini tidak memiliki komitmen yang jelas dari pemerintah Arab Saudi, meski sudah menggunakan sistem Sarikah sebagai solusinya.
Dunia sudah sepakat jam kerja hanya 8 jam. Dalam seminggu libur 1 hari. Ketentuan gaji minimum sesuai standar upah ditetapkan negara.
Kondisi kerja pun harus layak seperti keselamatan kerja, jaminan kesehatan, serta perlakuan yang saling menghormati dan profesional.
Sekarang, peradaban dunia dalam hubungan ketenagakerjaaan sudah berorientasi kesetaraan, kesejahteraan dan pertumbuhan. Namun masih banyak bangsa Arab Saudi yang menunjukan watak jahiliyahnya.
Hampir setiap tahun pemerintah Arab Saudi menerima laporan penyiksaan terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh majikan.
Namun tanggapan terhadap tindakan eksploitasi ataupun tindakan kriminal terhadap PMI tidak begitu mendapat respon dari pemerintah Arab Saudi dan tidak pernah dihukum agar ada efek jera.
Selain itu, adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak adil. Petugas yang mengadili pekerja rumah tangga hanya berdasarkan gugatan yang diajukan majikan.
Sehingga pada akhir kasus, pekerja rumah tangga hanya dipulangkan ke negara asal tanpa kejelasan mengenai hak-haknya sebagai pekerja.
Atas praktik perbudakan dan kejahatan pada kemanusiaan tersebut, maka pemerintah Indonesia harus menolak kehadiran Timnas Arab Saudi ikut Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Masyarakat Indonesia seharusnya ramai-ramai menyuarakan perjuangan pada kemanusiaan ini.
Pemerintah Arab Saudi harus sadar atas kejahatan warga negaranya dan berkomitmen menindak warga negaranya melakukan praktik perbudakan atau mengeksploitasi Pekerja Migran Indonesia.
Lahirnya sebuah sistem dan budaya di masyarakat Arab Saudi, bahwa manusia harus diperlakukan secara beradab dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Kesetaraan dan keprofesionalan serta kesejahteraan pada manusia harus menjadi prinsip dasar menjalin hubungan kerjasama ketenagakerjaaan antara Indonesia dengan Arab Saudi.
Aznil Tan, Direktur Eksekutif Migrant Watch
